Di panggilan terjawab berikutnya, tiba-tiba lelakiku bergumam
‘hei perempuanku, aku punya filosofi baru. Mau mendengarkannya?’
Sengaja kusembunyikan penasaranku dengan menjawab tak acuh
‘bolehlah, apa itu?’
Dan kemudian baru siang itu -saat aku dapat mencuri sedikit waktu kerjaku untuk menelfonnya- aku mendengarkannya begitu bersemangat menyampaikan sesuatu
‘sapu lidi’
Aku terdiam,,,lama
‘hoi, perempuan engko dengar ka ne?’
‘iyo dengar ni le, tapi sapu lidi bua apa maka?mo sapu halaman?’
‘itu kita pe dinding papan dengan atap genteng diatas tebing dekat pantai atau danau atau sungai tuh, kita kasih nama SAPU LIDI’
Aku mulai tertarik, ‘terus..?’
‘ada yang bilang ‘semaking gerang semakin tegeng, makin tua makin kuat sapu lidi itu’ tapi Oppah juga punya filosofi lain untuk sapu lidi, sapu kan untuk membersihkan kotoran, sapu lidi itu dikumpulkan dari batang-batang daun kelapa terus diikat jadi satu supaya lebih maksimal penggunaannya. Kita pu rumah itu adalah kumpulan dari segala macam hal yang kita sukai maupun kita benci, saat ada badai atau kesulitan datang kita pu rumah akan jadi tempat yang nyaman untuk membersihkan itu semua. Tempat untuk membuang kotoran sekaligus membersihkannya, kita menerima-menampung dan melebur semuanya untuk kemudian menjadikannya makin kokoh - HIKMAH DAN HIDUP
Ada jeda panjang yang diisi dengan diam, sampai akhirnya aku menelan air ludah yang cukup banyak karena tenggorokanku kering.
‘Oppah’
‘yah?’
‘I Love You’
***
Pandangan laut lepas dihadapanku membiru sementara cakrawala perlahan menghitam, badai itu bersamaan datang saat kepayahan menghampiriku. Kepayahan karena anak pertamaku ditelan stres di puncak ubun-ubunku yang membabi buta. Tapi lagi- lagi Ia memberikan rasa nyaman yang menyejukkan itu.
‘sudah jo mama, te usah sedih lagi. Tuhan pu mau oo bukan kita, engko mo jaga bagaimana juga tapi kalo sudah mesti begitu dia pu cara kita te mampu lawan lagi’
Aku masih saja sesenggukan.
‘tapi dia laki-laki pertama le, sayang dia sudah mo mati-mati’
‘Lupa ka dia, di kita pu Sapu Lidi ini te ada yang boleh rasa menyesal. Apa yang su jadi berarti hukumnya kita mesti terima, itu yang pertama. Baru selanjutnya kita pikir, mo ulang lagi kah atau mo stop jadi ilmu untuk bekal selanjutnya?’
Mataku mulai memerah dan bengkak, aku lunglai karena tangisan yang tak kunjung henti. Dan akhirnya tertidur. Malam itu aku terlelap dibawah ketiaknya, seperti biasa.
Anak sulungku baru saja luruh dari rahimku pagi tadi, aku terlampau serius memikirkan masa depannya sampai akhirnya mengorbankan Dia juga. Kasihan dia, belum sampai menginjak bumi pun sudah jadi biang masalah.
Aku bersumpah, ini tak akan pernah terjadi lagi!
=> Still Loading for PART III :)
Jumat, 08 April 2011
Sapu Lidi (sebuah rumah impian) PART I
Saat mentari jatuh tepat disamping karang, saat itulah suamikupun menyelesaikan kesenangannya yang sekaligus kubenci ‘memancing’. Aku tidak suka dengan kesulitan yang ditimbulkan dari menunggu yaitu kebosanan. Dari balik kaca sepen, aku melihatnya terburu-buru menaiki lipatan-lipatan tangga yang makin menonjolkan keriput dahinya. Tak kusangka sekuat ini aku menemaninya, jauh dari sangkaanku sendiri. Dulunya kukira kisah cinta kami hanyalah roman picisan biasa, apalagi tak ada hal istimewa yang mewarnai cerita kami kecuali Ia memintaku memasuki kehidupannya saat dimana dia masih memiliki hati lain yang dua tahun mendampinginya. Entahlah, harus kupercaya takdir atau apa tapi akhirnya hal yang dinamakan egoisme itu dibuktikan olehnya. Dan seseorang yang lain disana terus berkutat dengan karma selama beberapa dekade karena terlanjur membunuh keikhlasan dalam dirinya.
‘engko melamun apa, mama?’
Latahku benar-benar makin sempurna saat usiaku menginjak 30 tahun maka spontan saat larutan lamunanku semakin kental dan aku dikejutkan sapaan tanpa kompromi, setumpuk pakaian yang baru habis kulipat dalam keranjang tumpah ruah berantakan dilantai sepen. Dan suamiku dengan tawa khasnya perlahan memungut helai demi helai pakaian tadi. Pengertian tak berkesudahan.
Aku masih merengut dan mencoba menutupi kekagetanku dengan mengomelinya
‘su tau kita kuat kaget, datang te tau permisi maen hantam-hantam saja’
‘ jo sa hantam apa maka?kita kan tanya, engko melamun apa. Kita sapa engko le itu tuh, jantung udik sekali dari dulu-dulu te tau masuk kota juga.hahaha’ ergh dia menggodaku lagi...
‘hm..bicara banyak sa te masak ini malam, mati lapar persetan’ aku menyembunyikan rona merah di pipiku dengan melangkah pergi tak lupa sebelumnya kubanting sandalku pada langkah pertama
Aku tahu dia hanya akan tersenyum dan menatapa punggungku yang menjauh.
***
Dialek kita kedengaran berbeda, karena kampung timur kita yang terletak di Tenggara Nusantara. Dan kami hanyalah sepasang suami-isteri yang dibiarkan menjangkau Impian kami selagi kami mampu. Belakangan kami jadi mengerti, kami bukan manusia biasa. Kami Maha Karya, terbukti dari Rumah Ini. Rumah yang dulunya hanyalah sebuah pemanis bibir, yang setiap malam atau subuh menjelang saat panggilan-panggilan terjawab melalui sebuah provider yang ‘begitu dekat, begitu nyata’ memfasilitasi kami untuk saling menghamburkan khayalan-khayalan konyol kami di udara.
‘semuanya dari papan, beratap genteng sajalah. Kalo rumbia mudah koyak, hm..harus ada kolam pancing.
‘doh, mesti saya lihat orang melakukan pekerjaan menunggu itu di pelupuk mata saya hampir sepanjang saya hidup?’
‘loh, non..memancing itu menyenangkan lho..coba aja nanti.
‘ah..ndak, pokoknya ndak suka yah ndak suka...wew’
‘ho baek sudah kalo begitu cari rumah pinggir laut memang atau danau, biar kau tidak lihat saya pancing tiap hari. Hehehe’
‘hm..bolehlah, saya suka rumah dekat pantai atau sungai atau danau tapi harus diatas tebing. Biar pemandangannya puas.’
‘Okeh, itu ju sa pu mau. Trus ada garasi sepeda e, tapi kita nih bakal kaya tidak le? Takut kita mimpi tinggi-tinggi baru tidak jadi, awas gila jo...’
‘heh, mimpi tinggi-tinggi biar jadi beto...hahahaha, kalo gila ju te apa berarti masih ada hasil dari kita pu mimpi’ (jawaban ini membuatku merasa konyol sampai hari ini, wkwkwkkw)
‘hm..ngeyel saja, paling pintar ngeles anak satu ni..pi mandi sana, telat masuk kerja lagi sebentar. Sa mo lanjut tidur.
Ah, lagi-lagi hidup dibatasi waktu, ternyata hampir 45 menit aku membuat handphoneku memanas. Lekas kusudahi pembicaraan ini dan kembali ke alam nyata dengan jam duduk menunjukkan 08.30 hari kamis pagi, masih ada 30 menit lagi untuk sampai ke pelataran kantor. Move!
=> Still loading for PART II :)
‘engko melamun apa, mama?’
Latahku benar-benar makin sempurna saat usiaku menginjak 30 tahun maka spontan saat larutan lamunanku semakin kental dan aku dikejutkan sapaan tanpa kompromi, setumpuk pakaian yang baru habis kulipat dalam keranjang tumpah ruah berantakan dilantai sepen. Dan suamiku dengan tawa khasnya perlahan memungut helai demi helai pakaian tadi. Pengertian tak berkesudahan.
Aku masih merengut dan mencoba menutupi kekagetanku dengan mengomelinya
‘su tau kita kuat kaget, datang te tau permisi maen hantam-hantam saja’
‘ jo sa hantam apa maka?kita kan tanya, engko melamun apa. Kita sapa engko le itu tuh, jantung udik sekali dari dulu-dulu te tau masuk kota juga.hahaha’ ergh dia menggodaku lagi...
‘hm..bicara banyak sa te masak ini malam, mati lapar persetan’ aku menyembunyikan rona merah di pipiku dengan melangkah pergi tak lupa sebelumnya kubanting sandalku pada langkah pertama
Aku tahu dia hanya akan tersenyum dan menatapa punggungku yang menjauh.
***
Dialek kita kedengaran berbeda, karena kampung timur kita yang terletak di Tenggara Nusantara. Dan kami hanyalah sepasang suami-isteri yang dibiarkan menjangkau Impian kami selagi kami mampu. Belakangan kami jadi mengerti, kami bukan manusia biasa. Kami Maha Karya, terbukti dari Rumah Ini. Rumah yang dulunya hanyalah sebuah pemanis bibir, yang setiap malam atau subuh menjelang saat panggilan-panggilan terjawab melalui sebuah provider yang ‘begitu dekat, begitu nyata’ memfasilitasi kami untuk saling menghamburkan khayalan-khayalan konyol kami di udara.
‘semuanya dari papan, beratap genteng sajalah. Kalo rumbia mudah koyak, hm..harus ada kolam pancing.
‘doh, mesti saya lihat orang melakukan pekerjaan menunggu itu di pelupuk mata saya hampir sepanjang saya hidup?’
‘loh, non..memancing itu menyenangkan lho..coba aja nanti.
‘ah..ndak, pokoknya ndak suka yah ndak suka...wew’
‘ho baek sudah kalo begitu cari rumah pinggir laut memang atau danau, biar kau tidak lihat saya pancing tiap hari. Hehehe’
‘hm..bolehlah, saya suka rumah dekat pantai atau sungai atau danau tapi harus diatas tebing. Biar pemandangannya puas.’
‘Okeh, itu ju sa pu mau. Trus ada garasi sepeda e, tapi kita nih bakal kaya tidak le? Takut kita mimpi tinggi-tinggi baru tidak jadi, awas gila jo...’
‘heh, mimpi tinggi-tinggi biar jadi beto...hahahaha, kalo gila ju te apa berarti masih ada hasil dari kita pu mimpi’ (jawaban ini membuatku merasa konyol sampai hari ini, wkwkwkkw)
‘hm..ngeyel saja, paling pintar ngeles anak satu ni..pi mandi sana, telat masuk kerja lagi sebentar. Sa mo lanjut tidur.
Ah, lagi-lagi hidup dibatasi waktu, ternyata hampir 45 menit aku membuat handphoneku memanas. Lekas kusudahi pembicaraan ini dan kembali ke alam nyata dengan jam duduk menunjukkan 08.30 hari kamis pagi, masih ada 30 menit lagi untuk sampai ke pelataran kantor. Move!
=> Still loading for PART II :)
Langganan:
Komentar (Atom)